Status Quetionis ini tidak layak menjadi
pertanyaan. Bukan karena semua buruh sudah sejahtera. Bukan juga karena ini cuma
pertanyaan retoris yang tidak membutuhkan jawaban. Tetapi lebih karena semua
orang tahu, siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap nasib kaum buruh.
Dan semua orang juga tahu, bahwa justru “mereka yang” paling bertanggung
jawab inilah yang paling banyak
mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan kaum buruh. Karena itulah pertanyaan
ini tidak layak ditanyakan. Karena jawabannya akan contradictio in terminus
atau ambigu sekaligus naif dan memalukan.
Mengapa
tidak? Undang-undang Dasar 1945 mengisyaratkan bahwa yang bertanggung jawab atas
kelayakan hidup rakyat, termasuk di dalamnya kaum buruh adalah NEGARA. Sekali lagi ini adalah amanat UNDANG-UNDANG DASAR. Induk semang dari
semua Undang-Undang yang ada di negara tercinta ini. “Negara wajib memberikan
penghidupan yang layak bagi rakyatnya.”
Namun,
idealisme para pendiri bangsa ini dibenturkan dengan kepentingan-kepentingan
pribadi, keluarga, kolega dan semua yang menguntungkan lainnya. Regulasi
ketenagakerjaan tidak sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar. Sebut saja
Keputusan bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menteri Dalam Negeri,
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan yang keren disebut Surat Keputusan
Bersama (SKB) Empat (4) Menteri tentang Upah Minimum Regional (UMR). Singkatnya
SKB Empat Menteri ini meletakan pengusaha dan pertumbuhan ekonomi nasional
sebagai tolok ukur utama bagi para Gubernur dan Bupati/Walikota menetapkan
UMR/UMK.
Pertanyaannya
siapakah yang paling dirugikan dari regulasi ini? Kaum buruh. Ketika ekonomi
nasional mengalami keterpurukan, pengusaha akan berjuang untuk mempertahankan usahanya.
Sedangkan kaum buruh, berjuang untuk mempertahankan hidupnya, hidup
anak-istrinya, mempertahankan hidup keluarganya. Orang-orang bermoral akan
memilih memihak kaum buruh, karena merupakan hak asasi mereka yang diatur dan
dilindungi Undang-Undang Dasar. Saya
tidak sedang mengatakan orang yang memilih berpihak kepada pengusaha adalah
tidak bermoral karena saya lebih suka menghargai
orang bermoral daripada mengumpat orang yang tidak bermoral.
Tahun
1895, Seorang Tokoh Agama bernama Leo XIII mengeluarkan sebuah ajaran sosial
yang mengagetkan dunia, yakni Rerum Novarum. Melalui ensklik ini Leo
XIII memperlihatkan pilihannya berhadapan dengan Pengusaha, Negara dan kaum
buruh dalam dunia industri. Dengan tegas Leo XIII memilih berpihak pada kaum
Buruh. Bagi Leo XIII, Negara, Pengusaha dan Kaum Buruh adalah tiga pilar
ekonomi. Tidak ada satu di antara mereka yang lebih penting. Negara menyiapkan
regulasi, pengusaha menyiapkan modal, dan kaum buruh menjalakan usaha. Leo XIII
mengecam masyarakat Eropa ketika itu yang meletakan kaum buruh satu level lebih
rendah dari Negara dan pengusaha. Menurut Leo XIII, regulasi dan modal tanpa
kaum buruh tidak bisa menjadi apa-apa. Karena itu sudah sepantasnya kita
meletakan kaum buruh pada tempatnya seperti halnya pengusaha dan negara.
Yang
barusan saya katakan adalah kecaman seorang tokoh agama 118 tahun yang lalu. Saya
ulangi 118 tahun yang lalu. Aneh bin ajaib di Indonesia hal itu masih dialami
kaum buruh. Tidak hanya soal upah yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Tetapi yang
terutama menyangkut regulasi yang tidak berpihak kepada kaum buruh. Bahkan regulasi-regulasi
justru cenderung menyengsarakan kaum buruh.
Dan jika regulasi itu menyengsarakan kaum buruh maka regulasi
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kalau bertentangan berarti regulasi turunan
itu melawan Undang-Undang. Orang yang tindakannya melawan undang-undang maka
harus dihukum. Satu pertanyaan: nenek tua yang melakukan tindakan melawan
Undang-Undang dengan mencuri buah semangka, berapa orangkah yang dirugikan.
Jawabanya pasti. Satu orang. Pemilik semangka. Orang-orang yang mengeluarkan
regulasi yang melawan undang-undang merugikan berapa orang? Ratusan juta
penduduk Indonesia. Kalau pencuri semangka harus dijebloskan ke dalam penjara,
maka harus diapakan orang-orang yang mengeluarkan regulasi ini? Anda tau
jawabannya.
Ini
bukan sebuah persoalan kecil. Regulasi-regulasi yang tidak mendukung “kemanusiaan’
ini membawa serta konsekuensi yang luar biasa besarnya. Sebut saja, kontrak
kerja. Pengusaha mengekploitasi kaum buruh untuk mendapatkan keuntungan
berlipat ganda, sedangkan masa depan kaum buruh tidak diperhatikan. Yang
memprihatinkan bahwa ketika seorang bapak keluarga dipekerjakan sebagai tenaga
kontrak maka pada saat yang sama dia menggantungkan masa depan dan hidup
ratusan juta anak Indonesia. Karena itu, dari sekarang kita semua diajak untuk
melek, melihat segala kebijakan penentu kebijakan dengan bijak. Karena mereka
suka bijak sana bijak sini demi kepentingan diri, keluarga, kolega dan orang-orang
yang dekat dengan mereka.
Pada
titik inilah kita akan ketemu, siapkah yang sesungguhnya paling bertanggung
jawab atas kesejahteraan kaum buruh. Jangan lagi berharap pada penguasa. Mereka
bukan abdi negara. Mereka adalah juga pekerja sama seperti kita. Mereka juga
mencari makan. Bedanya, bahwa kita memberikan bayaran berlimpah kepada mereka,
yang tidak hanya mencukupi kebutuhan hidup mereka, tetapi bahkan berlebihan
sampai mereka hidup dalam kemewahan. Sementara kita yang membayar mereka tidak
diperhatikan, bahkan kita harus memberikan upeti jika mau mendapatkan perhatian
dari mereka.
Aneh
kan? Kalau tidak aneh itu bukan
Indonesia. Karena itu, sekarang saya mengajak semua kaum buruh di
seluruh Indonesia untuk berharap pada diri sendiri. Hanya kita sesama kaum
buruh yang bisa saling mengerti. Karena itu, rapatkan barisan. Mari kita
berjuang bersama-sama untuk merebut hak-hak kita. Ingat organisasi buruh yang
solid, terorganisir dan melek hukum adalah satu-satunya senjata yang paling
angkuh untuk melawan segala tirani ini. Sekali lagi, mari kita bersatu,
berjuang untuk anak cucu kita, untuk masa depan generasi muda bangsa. Perjuangan
kita adalah senyum anak cucu kita, jangan lelah. Mari terus berjuang.
jadi ikut sedih......
BalasHapusKok sedih? Berjuang dunk untuk kaum buruh. Termasuk kita kali....
BalasHapus