(Sebuah
Catatan Untuk Yang Terhormat Bapak Felix Tan)
Menyimak 3
(tiga) tulisan opini di Pos Kupang (27/05/2015,
Salut Kepada Para Guru NTT, Sebuah Catatan Untuk SMAK Anda Luri dan SMAK
Frateran Podor, 01/06/2015, UN dan Kejujuran, Catatan Sederhana untuk Felix
Tan, 05/06/2015, UN Bukan Penentu Kelulusan) perihal keputusan Dewan Guru
SMAK Frateran Podor untuk tidak meluluskan 15 (lima belas) peserta didiknya,
mengusik nurani saya sebagai seorang alumni (Tahun 1995) untuk memberikan
beberapa catatan kritis.
Namun sebelum
itu terlebih dahulu saya mau mengatakan
salut bagi Dewan Guru SMAK Frateran Podor yang kendati diberikan peluang
oleh Negara untuk “meluluskan” semua
anak didiknya, masih teguh pada pakem-nya
“meluluskan anak didik yang memang layak untuk lulus. Keputusan ini sudah
seharusnya diapresiasi oleh stakeholder
(pemangku kepentingan) pendidikan (dalam hal ini Dinas Pendidikan), termasuk
para pemerhati dan praktisi pendidikan dan tidak sebaliknya ‘dihakimi’. Apalagi
keputusan itu diambil ketika masyarakat kita (termasuk diantaranya pemangku
kepentingan pendidikan itu sendiri) telah mereduksi pendidikan ke ranah
pragmatis, cukup untuk ijazah, cukup untuk bisa bekerja, dan cukup-cukup
lainnya.
Catatan
pertama yang perlu menjadi perhatian
adalah tujuan utama pendidikan adalah pembentukan
kepribadian manusia seutuhnya dan bukan kelulusan. Kelulusan yang ditandai
dengan penerimaan ijazah adalah ‘perwujudan’ kualitas anak didik sekaligus
kepercayaan sekolah bahwa anak didik tersebut telah layak melanjutkan
pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi atau memasuki dunia kerja. Dengan
kalimat yang lebih teknis-formal anak didik tersebut memenuhi Standar
Kompetensi Lulusan Sekolah.
Dalam konteks
SMAK Frateran Podor, tidak lulusnya 15 peserta didik ini tentu saja karena
belum memenuhi Standar Kompetensi Lulusan SMAK Frateran Podor. Para praktisi
pendidikan sadar betul bahwa keputusan itu tidak populer, tidak disukai
masyarakat dan bisa membuat masyarakat meninggalkan sekolah itu. Keberanian
Dewan Guru SMAK Frateran Podor untuk mengambil keputusan ini menunjukkan tanggung
jawab moril mereka terhadap masa depan ke-15 anak didik tersebut dan komitmen
mereka terhadap pendidikan di Negeri ini. Catatan untuk Bapak Felix Tan,
keputusan itu tidak menunjukkan bahwa para guru belum memahami regulasi, namun menunjukkan
Dewan Guru SMAK Frateran Podor sangat memahami esensi pendidikan karena itu tidak
mau berlaku sekedar formal-legalistik seperti yang Bapak mintakan persetujuan
kepada Bapak Evens Nuba dan Robertus Sabon Taka dalam tulisan Bapak di Pos
Kupang 5 Juni 2015: UN Bukan Penentu Kelulusan alinea terakhir.
Kedua. Ketidaklulusan bukanlah ‘kiamat’ bagi ke-15 anak didik itu. Ini
adalah bagian dari proses pembelajaran. Dalam konteks reward dan sanksi maka
ini adalah sebuah sanksi. Dan sanksi ini sangat edukatif. Anak didik diberikan
kesempatan untuk mengikuti proses pembelajaran satu tahun lagi di kelas XII.
Terhadap
ini sudah menjadi tugas semua stakeholder
pendidikan seperti Dinas Pendidikan, praktisi pendidikan (diantaranya Bapak
Felix Tan), mapun pemerhati pendidikan untuk memberikan pencerahan kepada anak
didik yang belum lulus agar menerimanya dengan besar hati dan siap untuk
kembali mengikuti proses pembelajaran. Miris, ketika para pemangku kepentingan
bertindak sebaliknya. Atas nama regulasi negara mereka telah menjerumuskan anak
didik, orang tua/wali murid bahkan masyarakat ke alam pragmatis dengan mental formal-legalistik tanpa mempedulikan
kualitas.
Catatan penting
sebagai permenungan bagi Bapak Felix Tan, sebagai Dosen di Fakultas Keguruan
Ilmu Pendidikan (FKIP), Bapak memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam
memproduksi tenaga pendidik yang baru. Apakah pendidik yang baru memiliki
idealisme dalam pendidikan atau bermental pragmatis yang cukup dengan memenuhi
unsur formal-legalistik. Bapak telah ikut berperan dalam membentuk mereka
melalui dua tulisan Bapak di media ini.
Ketiga. Bapak Felix Tan telah
meluangkan terlalu banyak waktu untuk mempersoalkan gejala yang muncul (fenomena) dan melupakan tugas utama
Bapak sebagai akademisi, yakni mengurai substansi
yang melahirkan fenomena itu. Keputusan Dewan Guru SMAK Frateran Podor untuk
tidak meluluskan 15 (lima belas) peserta didiknya adalah fenomena. Zera yang
hendak bunuh diri karena tidak lulus adalah fenomena. Pun Permendikbud No. 5
tahun 2015 tentang Kriteria Kelulusan adalah juga sebuah fenomena. Tugas Bapak
Felix Tan dan para akademisi lainnya mengurai substansi yang menyebakan
fenomena ini bukan mengomentari fenomena-fenomena ini.
Sebagai contoh pernyataan
Bapak Felix Tan bahwa Zera memiliki karakter yang baik karena itu tidak
membakar sekolahnya hanya mau menceburkan diri ke laut sebenarnya adalah sebuah
fallacy atau kesesatan berpikir.
Terhadap kejadian itu akademisi yang sungguh memiliki komitmen terhadap
pendidikan akan trenyuh dan mempertanyakan: bagaimana kecerdasan emosi (EQ) anak
itu, ada apa dengan kecerdasan ketahanan (AQ) anak itu, apakah sekolah
memperhatikan kecerdasan spiritualnya (SQ)? Bagaimana seorang anak dikatakan memiliki
kerakter yang baik jika ketiga kecerdasannya itu belum bekerja maksimal.
Sebagai seorang praktisi pendidikan, saya sependapat dengan Dewan Guru SMAK
Frateran Podor untuk mendidik anak-anak itu satu tahun lagi.
Masa depan
bangsa ini ada di pundak para pendidik. Seperti apa bangsa ini 5 tahun ke
depan, atau 10 tahun ke depan tergantung pada komitmen para pendidik. Generasi
bangsa ini telah terkontaminasi paradigma pragmatis yang cenderung
formal-legalistik. Saya yakin Bapak Felix Tan sepakat dengan saya bahwa kita
harus membentuk generasi baru yang memiliki idealisme dan komit untuk meraih
idealismenya. Robert Sabon Taka dan Evensus Nuba serta Dewan Guru SMAK Frateran
Podor telah memberikan contoh. Mari kita teladani mereka demi masa depan
Generasi Bangsa ini. ***
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus