Dalam
sambutannya di Rakornas Partai Nasdem, Selasa 27 Mei 2014 lalu, Calon Presiden
Jokowi mengajak semua peserta Rakornas untuk “berani membangun nilai-nilai baru
dan memulai tradisi-tradisi baru.” Kalimat sederhana ini, sangat kaya makna dan
mengandaikan adanya komitmen yang kuat dan kesiapan untuk bekerja keras. Tanpa
komitmen dan kerja keras maka pembangunan nilai dan tradisi baru hanyalah
jargon politik yang tidak ada bedanya dengan iklan anti korupsi Partai Demokrat
beberapa waktu yang lalu.
Seruan
Jokowi ini berhubungan dengan Visinya Restorasi Indonesia dan Revolusi Mental.
Secara kasat mata Jokowi sudah melakukannya selama menjadi Walikota Solo dan
Gubernur DKI Jakarta. Blusukan ke mana-mana, memberikan sanksi kepada petugas
birokrasi yang mempersulit pengurusan administrasi kependudukan, tidak menerima
gaji, dan masih banyak lagi.
Nilai plus
yang harus diberikan kepada Jokowi adalah melakukan sendiri terlebih dahulu
sebelum mengajak lainnya melakukan. Paulus VI dalam ajaran sosial Evangelii
Nuntiandi artikel 6 mengatakan masyarakat
zaman ini lebih percaya dengan apa yang dilakukan daripada apa yang dikatakan.
Tidak heran, gelombang dukungan kepada Jokowi begitu kuat bahkan sebelum PDI
Perjuangan menetapkan Jokowi sebagai Calon Presiden.
Kendati
demikian, tidak untuk bersikap pesimistis, melakukan revolusi mental sama dengan mengurai benang yang sudah sangat kusut.
Mental bangsa ini terlanjur dicemari arus pragmatisme yang menggilas habis
nilai-nilai budaya bangsa dan idealisme perjuangan yang seharusnya menjadi
orientasi seluruh pembangunan.
Hemat saya,
ada 5 komponen yang menjadi target utama revolusi. Secara hirarkis 5 komponen tersebut
adalah: Aparatur negara, pendidikan, media elektronik (TV), masyarakat dan
keluarga. Dalam pembahasan ini saya hanya memusatkan perhatian pada 3 komponen
pertama. 2 komponen lain akan menjadi pembahasan saya dalam tulisan berikut.
Secara
sengaja saya meletakan revolusi mental aparatur negara pada nomor urut pertama
karena mendesak dan menjadi pijakan untuk melakukan revolusi lainnya. Revolusi
dimulai dari sistem perekrutan, penempatan hingga penanaman nilai kerja itu
sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, ‘jatah’ dan ‘uang’ masih menjadi faktor penentu
utama seleksi penerimaan dan penempatan kerja. Naifnya tidak sedikit pendidik
yang menempuh jalan ini. Tidak tanggung-tanggung, salah satu teman saya harus
merogoh kocek sampai 100 juta rupiah untuk bisa diterima menjadi PNS (Guru) dan
ditempatkan di kota.
Penanaman
nilai kerja merupakan satu hal penting yang tidak bisa dianggap sepeleh. Sikap
pragmatis yang melihat ‘kerja’ hanya sebagai sarana untuk mendapatkan ‘bayaran’
telah merusak mental banyak aparatur negara. Benediktus XVI dalam ajaran sosial
Motu Proprio Data menyoroti
sekularisasi kerja. Kerja direduksi sebagai aktivitas duniawi hanya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan duniawi. Benediktus XVI mengajak masyarakat dunia
untuk memaknai kerja sebagai aplikasi iman. Kerja adalah amanah, kerja adalah
panggilan.
Komponen
kedua yang harus direvolusi adalah pendidikan. Mungkin banyak yang tidak setuju
mengapa revolusi pendidikan saya letakan pada nomor yang kedua. Satu hal yang patut
menjadi dasar pemikiran adalah sistem pendidikan kita dikuasai oleh negara.
Mulai dari regulasi sampai isi pembelajaran di sekolah itu sendiri. Karena itu
pendidikan selalu bersentuhan dengan aparatur negara Departemen Pendidikan yang
tentu saja tidak jauh berbeda dengan yang lain ‘doyan upeti.’ Jika mental
aparaturnya tidak lebih dahulu direvolusi maka faktor ‘keteladanan’ seperti
yang telah ditunjukan Jokowi dan dinyatakan secara khusus dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 dengan Perubahannya Peraturan Pemerintah Nomor
32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19 ayat 2 tidak dapat
berjalan.
Revolusi
yang paling utama dalam pendidikan adalah orientasi pendidikan itu sendiri.
Tidak bisa disangkal dunia pendidikan pun telah dikuasai paradigma pragmatis. Faktor
‘utility’ terutama kesiapan memasuki dunia kerja kadang menjadi kepedulian
utama pengelola pendidikan selain tuntutan orang tua/wali murid. Lembaga
pendidikan menjadi tidak ada bedanya dengan tempat kursus/pelatihan maupun
tempat bimbingan belajar. Kriteria utama lembaga pedidikan unggul direduksi
hingga lulus ujian nasional 100%, dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang
lebih tinggi tanpa tes, dan di cakap dalam bekerja.
Pelaku pendidikan
telah meninggalkan hal hakiki dalam pendidikan yakni pembentukan kepribadian
atau dalam bahasa Orde Baru disebut pembangunan manusia seutuhnya.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah
merumuskan dengan sangat baik, bahwa “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban...” (Pasal 3).
Namun tanpa ada revolusi paradigma pendidikan yang benar rumusan yang indah itu
tetap menjadi rumusan tanpa makna.
Komponen ketiga yang
patut direvolusi adalah media elektronik khususnya televisi. Piramida
penyerapan informasi Dr. Vernon A. Magneson menunjukkan bahwa penyerapan
informasi melalui audio-visual lebih besar dibanding dengan hanya melalui audio
saja. Jika dengan Audio saja audiens hanya bisa menyerap sekitr 10 % informasi
maka dengan audio-visual audiens bisa menyerap hingga 30 % informasi. Hal ini
membuat kita bisa berpikir bahwa pengaruh dari ‘sinetron’ dan ‘infotaiment’ jauh
lebih besar daripada ceramah Guru di kelas, Khotbah Imam di Masjid, Homili
Pastor atau Pendeta di Gereja, maupun ceramah Pendeta Hindu dan Budha di Pura
maupun Vihara.
Yang
memprihatinkan kedua acara Televisi tersebut belum bisa dijadikan sarana
pendidikan. Justru yang ditonjolkan adalah perilaku jahil, balas dendam,
geng-geng sekolah, perlakuan kejam dan jahat terhadap orang lain, balas dendam,
ngerumpi, membeberkan kehidupan pribadi orang ke publik secara vulgar hingga
gosip dan fitnah. Naifnya lagi
acara-acara ini kebanyakan ditayangkan pada prime time, yang ditonton oleh
banyak anak.
Kita tidak
mengharapkan semua media televisi menjadi seperti Metro TV atau TV One. Setiap
media TV sudah pasti memiliki kekhasan sebagai brand di masyarakat. Yang harus
direvolusi adalah mindset pengelola. Apakah hanya untuk rating dan iklan atau
ada nilai-nilai luhur lain yang hendak diperjuangkan. Betapa beratnya
merevolusi mental bangsa ini jika sejak kecil kita sudah disuguhi dengan
informasi-informasi negatif yang merusak mental.
Bagi Jokowi seorang
diri, revolusi mental tidaklah sulit. Toh beliau telah membuktikannya di Solo
dan Jakarta. Namun untuk mengajak semua komponen bangsa untuk melakukan
revolusi mental adalah pekerjaan yang tidak mudah. Karena itu dukungan semua
pihak terhadap gerakan ini menjadi ‘harga mati’ yang tidak bisa ditawar. PR ini
juga menjadi ujian bagi Jokowi. Derasnya gelombang dukungan terhadap Jokowi salah
satunya karena keteladanannya dalam merevolusi mental aparat di Solo dan
Jakarta. Masyarakat Indonesia mengharapkan komitmen yang sama. Semoga
kekecewaan masyarakat terhadap ‘iklan’ Anti Korupsi Demokrat tidak diperparah
oleh ajakan pembangunan nilai dan tradisi baru Jokowi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar