(Sebuah Refleksi Atas Peristiwa Pemilihan
Umum dan Paskah)
Bulan April tahun ini kita disuguhi begitu banyak
peristiwa yang sangat kaya nilai yang selalu mengusik mata hati kita untuk
melihat secara lebih tajam dan dalam. Setiap peristiwa membawa serta
pertanyaan-pertanyaan ‘kegalauan’,
entah itu keprihatinan, kekecewaan, maupun pertanyaan eksistensial seperti yang
diungkapkan dengan sangat indah oleh Daud dalam Mazmur 8:6: “Apakah manusia, sehingga
Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Dua peristiwa besar yang menjadi dasar refleksi ini adalah persitwa
Pemilihan Umum dan Paskah 2014.
Kedua peristiwa ini dihubungkan oleh satu benang merah yang sama, yakni kepemimpinan. Menarik untuk direnungkan, kedua peristiwa itu berlangsung dalam satu bulan yang sama: APRIL. Setelah melewati hingar-bingar persiapan, 9 April 2014 warga Negara Indonesia berbondong-bondong ke TPS untuk memilih orang-orang yang akan menjadi ‘wakilnya’ di Parlemen. Demikian juga umat Katolik sejagat, setelah melewati masa pantang dan puasa selama 40 hari, 18 April 2014 merayakan sekaligus menyaksikan pemberian Diri Seorang ‘Pemimpin’ di Salib yang menggugat eksistensi kepemimpinan pragmatis, “kebodohankah? Ataukah kekuatan Allah?” (Bdk 1Kor 1:18).
Kedua peristiwa ini dihubungkan oleh satu benang merah yang sama, yakni kepemimpinan. Menarik untuk direnungkan, kedua peristiwa itu berlangsung dalam satu bulan yang sama: APRIL. Setelah melewati hingar-bingar persiapan, 9 April 2014 warga Negara Indonesia berbondong-bondong ke TPS untuk memilih orang-orang yang akan menjadi ‘wakilnya’ di Parlemen. Demikian juga umat Katolik sejagat, setelah melewati masa pantang dan puasa selama 40 hari, 18 April 2014 merayakan sekaligus menyaksikan pemberian Diri Seorang ‘Pemimpin’ di Salib yang menggugat eksistensi kepemimpinan pragmatis, “kebodohankah? Ataukah kekuatan Allah?” (Bdk 1Kor 1:18).
Kendati
kedua peristiwa ini dapat dihubungkan dengan benang merah yang sama, namun
keduanya tidak bisa diletakan pada satu kutub yang sama. Keduanya berada pada
polaritas berbeda bahkan berseberangan. Kontradiksi kedua perisitiwa ini sudah sejak
persiapan hingga puncak ‘perayaannya’.
Pemilihan
umum dimulai dengan rangkaian kampanye atau saya lebih suka menyebutnya
propaganda untuk memilih sosok atau partai tertentu. Mulai dari pembentukan Tim
Sukses (TS), penyebaran kartu nama, SMS, pemasangan spanduk-banner, iklan di
media massa (cetak maupun elektronik), pembagian sembako dan pernak-pernik lainnya, hingga serangan
fajar. Begitu besar biaya yang dikeluarkan. Begitu banyak waktu, tenaga dan
pikiran yang ‘digadaikan’. Pertanyaan ketidakpahaman dari sebuah keluguanku:
“Mengapa ‘dia’ begitu kuat berusaha meyakinkanku untuk menjadi wakilku?
Bukankah aku yang harus menentukan kepada siapa memandatkan hak-hak politikku
di Parlemen? Benarkah ‘dia’ ingin menjadi ‘wakilku? Lalu bagaimana dengan
biaya? Ikhlaskah ‘dia’? Ataukah ada ‘udang
dibalik batu’ yang harus pelajari lebih dalam? Entah itu prestise,
kekuasaan, uang atau hal lainnya. Namun semua itu hanyalah pertanyaan
ketidakpahaman kaum lugu yang awam dengan hitung-hitungan matematis-logis para
politisi.
Sangat
berseberangan dengan peristiwa Salib. Injil Lukas menggambarkan kehidupan Yesus
sebagai sebuah perjalanan. Perjalanan dari Nasareth di Galilea ke Yerusalem di
Yudea. Penampilan Yesus di muka umum dimulai dengan ‘proklamasi’ datangnya
Tahun Rahmat Tuhan (Tahun Yobel) yang menjadi tanda pembebasan. Proklamasi ini
bukanlah sebuah kampanye terselubung untuk menarik simpati orang-orang
Nasareth. Karena hasilnya Yesus digiring keluar hendak dilempari batu. Yesus
sangat memahami budaya dan Agama Yahudi, karena itu saya sangat yakin Yesus
tahu betul resiko yang akan diambil ketika Ia memproklamasikan Tahun Yobel itu.
Tetapi Yesus harus melakukan itu karena itulah misi ‘kepemimpinan-Nya’.
Perjalanan
Yesus selanjutnya merupakan upaya perwujudan proklamasi pembebasan Nasareth. Menyembuhkan
orang sakit(Luk 5:12-26, 6:6-11, 7:1-10, dll), memberikan harapan untuk kaum
papa miskin (Luk 6:20-26), mengeritik (mereformasi) hukum yang tidak pro
kemanusiaan (Luk 6:1-5), mengeritik sikap hidup legal-formalistik (Luk
6:27-49), mengeritik pemimpin/penguasa yang tidak berpihak kepada masyarakat (Luk
10:13-16, 11:37-54), membebaskan orang dari kuasa roh-roh jahat (Luk 8:26-39, 9:37-43),
dan masih banyak lagi hingga membebaskan orang dari kuasa maut (Luk 7:11-17,
8:40-56).
Apa
yang dilakukan Yesus ini bukan tanpa perlawanan. Kaum Farisi, Ahli-Ahli Taurat,
Para Imam dan Penguasa yang merasa terusik dengan kehadiran Yesus selalu
mencari cara untuk menyingkirkan Yesus. Keempat Injil menggambarkan dengan amat
gamblang bagaimana ‘orang-orang itu’ selalu membuat intrik untuk bisa menjebak
Yesus agar mereka bisa melenyapkan Dia secara ‘legal’.
Namun
Yesus bergeming. Ia tetap mengarahkan pandangan-Nya ke Yerusalem (Luk 9:51).
Yerusalem dalam konteks tugas perutusan Kristus adalah kulminasi karya
mesianik, yakni: sengsara, wafat dan kebangkitan untuk membebaskan umat manusia
dari dosa dan kematian. Karena itu, Yesus mengarahkan pandangan-Nya ke
Yerusalem sama dengan mengatakan ‘menyongsong’ Salib. Penegasan yang harus
disampaikan adalah tidak bisa membayangkan adanya kemuliaan kebangkitan tanpa
Salib.
Paparan
ini memperlihatkan kepada kita dengan sangat gamblang dua model pemimpin. Model
pemimpin pertama dikenal (atau lebih tepat disebut memperkenalkan diri) lewat
spanduk, banner, iklan dan berbagai jenis propaganda lainnya. Model ini
diperlihatkan oleh para politisi ketika mencalonkan diri untuk menduduki
jabatan politis tertentu, baik itu legislatif maupun eksekutif. Model kedua
seperti yang diperlihatkan oleh Yesus. Yesus dikenal tidak karena propaganda
melainkan karya. Yesus disambut oleh begitu banyak orang ketika memasuki kota
Yerusalem bukan karena sebuah upaya pengerahan massa, melainkan karena sebuah
ketertarikan untuk melihat sosok pemimpin karismatis yang berjalan dari satu
kota-kota yang lain untuk berbuat baik.
Model
pemimpin pertama juga suka tebar pesona. Cari sensasi. Memanfaatkan momen untuk
bisa menjadi pahlawan. Kadang agak munafik dan selalu menjaga citra.Yesus
menampilkan sebuah model yang sangat berbeda. Lugas dan apa adanya. Berbuat
baik, mengecam ketimpangan, menolak praktik keagamaan maupun hukum yang
formal-legalistik, dan semuanya lainnya, dilakukan tanpa tendensi apa pun. Bukan
untuk dinilai baik, bukan untuk tebar pesona apalagi kemunafikan untuk
mendapatkan simpati.
Orientasi
pemimpin model pertama adalah kedudukan (jabatan) sebagai eufemisme dari
kekuasan. Karena itu pemimpin model pertama melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya.
Mulai dari pembohongan publik sampai kepada penyusunan rencana strategis untuk melakukan
‘kecurangan’ dipersiapkan dan dilakukan. Contoh di depan mata adalah dugaan
kecurangan perhitungan suara oleh KPU Propinsi Lampung yang bergaung hingga ke
tingkat Nasional.
Berseberangan
dengan itu, orientasi kepemimpinan Yesus adalah kebenaran dan keadilan untuk
mencapai kebebasan sempurna. Kebebasan dari belenggu-belenggu kehidupan
(ekonomi, pendidikan, sosial, budaya,dll) hingga kebebasan dari dosa dan maut.
Untuk mencapai itu tidaklah mudah. Pemimpin harus total. Total berkarya hingga
tatal memberi diri. Yesus sendiri mengorbankan diri-Nya (bukan mengorbankan orang lain) demi tugas perutusan-Nya itu. Yesus
rela menderita, wafat di Salib demi proklamasi pembebasan Nasareth yang telah
Ia kumandangkan. Dengan semua itu Yesus menunjukkan dengan sangat gamblang
betapa pentingnya tujuan. Jika tujuan yang hendak dicapai mulia dan luhur maka
proses untuk mencapainya pun akan mulia dan luhur.
Semua
ulasan ini hendak menjawabi judul refleksi ini. Pemimpin, apakah pelayan atau
penguasa? Idealnya pemimpin adalah seorang pelayan, seorang abdi negara, abdi
masyarakat. Pemaknaan seperti ini hanya bisa ditemukan dalam diri pemimpin yang
melihat “kepemimpinannya” sebagai sebuah panggilan, sebuah amanah. Lepas dari
itu, maka kepemimpinan adalah karir, jabatan dan kekuasaan.
Bagi
pemimpin yang memaknai tugas ‘kepemimpinan’ sebagai panggilan maka Salib
bukanlah kebodohan. Salib sungguh merupakan kekuatan Allah. Pemberian Diri
Yesus secara total sampai mati di kayu Salib tidak mungkin bisa terwujud tanpa
ada kekuatan Allah. Bagi kita sekarang, Salib adalah monumen pengorbanan
seorang pemimpin. Melihat dan mewartakan Salib akan menjadi energi positif bagi
para pemimpin. Energi ini adalah kekuatan untuk menjadi pemimpin yang mau
berkorban, melayani dan mengabdi bukan untuk menguasai. Matias Sira Leter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar