03 Juni, 2013

Mimpi tentang Jerusalem



Pengantar Admin: Tulisan ini dikutip dari kompas.com edisi, Senin, 3 Juni 2013. Laporan Trias Kuncahyono dari Yerusalem ini menarik untuk disimak, karena itu kami publikasikan di sini. Semoga bermanfaat.

Oleh: Trias Kuncahyono
Israel pada 1980 mengklaim Jerusalem sebagai ibu kotanya setelah menduduki Jerusalem pasca-Perang Enam Hari 1967. Sementara itu, Palestina menuntut Jerusalem Timur sebagai ibu kota.
Dari puncak Bukit Zaitun terlihat jelas tembok Kota Lama Jerusalem. Di dalam kota lama itu berada tempat-tempat suci bagi tiga agama abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam. Tempat suci yang paling jelas terlihat dari Bukit Zaitun adalah Kubah Masjid Omar yang disebut Kubbat es-Sakhra atau Dome of the Rock, Kubah Batu yang berwarna kuning keemasan, dan kubah Masjid Al Aqsha berwarna hitam.

Dome of the Rock adalah salah satu landmark Jerusalem yang sangat terkenal. Melihat kubahnya saja, orang langsung tahu itu adalah kubah Dome of the Rock. Hanya di Jerusalem ada bangunan seperti itu. Ketika langit begitu bersih, biru, kubah itu berkilau-kilau diterpa sinar matahari, bahkan bagaikan matahari kedua yang menghiasi langit Jerusalem.


Melihat Dome of the Rock, kubah Masjid Al Aqsa, dan setelah masuk Kota Lama lalu melihat Tembok Ratapan serta Gereja Makam Kristus terasa aman dan damai. Di tempat-tempat itulah umat dari tiga agama monoteistik, monoteisme Ibrahimi, melambungkan doa-doa, memuliakan Tuhan Allah. Semua terasa aman dan damai. Barangkali karena itulah Jerusalem disebut ”Kota Damai”.

Namun, apakah perdamaian dan kedamaian benar-benar memancar dari Jerusalem ke seluruh wilayah Bumi Palestina yang sekarang dihuni bangsa Palestina dan Yahudi? Itulah pertanyaannya. Setidaknya 20 perundingan perdamaian dilakukan antara Palestina dan Israel, tetapi hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda bahwa perdamaian segera menguasai wilayah itu.

Dalam pertemuan dengan sejumlah orang Israel dan Palestina di Jerusalem dan Bethlehem, Selasa dan Rabu lalu, tergambar jelas bahwa masih begitu banyak persoalan dan hambatan yang menghalangi terciptanya perdamaian. Empat persoalan besar yang belum bisa mempertemukan keinginan damai kedua belah pihak adalah masalah perbatasan, pengungsi, permukiman, dan Jerusalem.

Kedua belah pihak memiliki ”definisi” sendiri-sendiri tentang perdamaian. Kedua belah pihak saling menuding pihak lain yang menghalangi terciptanya perdamaian. Tentang konsep two state solution, ”penyelesaian dua negara”, yakni konflik diakhiri dengan berdirinya dua negara—Israel dan Palestina— yang hidup berdampingan secara damai pun tidak tercapai kesepakatan. Bahkan, cenderung kedua belah pihak saling menuding sebagai pihak yang tidak setuju terhadap konsep penyelesaian seperti itu.

Palestina menuntut perundingan harus didasarkan pada peta sebelum Perang 1967 ketika Tepi Barat dan Jerusalem dikuasai oleh Israel. Terhadap hal itu, Israel menganggap tuntutan itu mengada-ada. Bahkan, Hamas berpendirian, tidak ada alasan untuk mengadakan perundingan atau negosiasi dengan Israel.

Pada dasarnya, tidak ada saling percaya di antara keduanya. Itulah sebabnya ada yang berpendapat biarlah tetap seperti sekarang saja, status quo, sambil meneruskan proses perdamaian karena toh selama proses perdamaian itu berlangsung banyak yang diuntungkan. Tidak berlebihan kalau dikatakan, hingga kini perdamaian itu masih sebatas mimpi. Mimpi tentang Jerusalem yang benar-benar damai pun masih mimpi . (Trias Kuncahyono, dari Jerusalem)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar