02 Juli, 2015

SALUT BUAT SMAK FRATERAN PODOR


(Sebuah Catatan Untuk Yang Terhormat Bapak Felix Tan)
 Menyimak 3 (tiga) tulisan opini di Pos Kupang (27/05/2015, Salut Kepada Para Guru NTT, Sebuah Catatan Untuk SMAK Anda Luri dan SMAK Frateran Podor, 01/06/2015, UN dan Kejujuran, Catatan Sederhana untuk Felix Tan, 05/06/2015, UN Bukan Penentu Kelulusan) perihal keputusan Dewan Guru SMAK Frateran Podor untuk tidak meluluskan 15 (lima belas) peserta didiknya, mengusik nurani saya sebagai seorang alumni (Tahun 1995) untuk memberikan beberapa catatan kritis.

Namun sebelum itu terlebih dahulu saya mau mengatakan salut bagi Dewan Guru SMAK Frateran Podor yang kendati diberikan peluang oleh Negara untuk “meluluskan” semua anak didiknya, masih teguh pada pakem-nya “meluluskan anak didik yang memang layak untuk lulus. Keputusan ini sudah seharusnya diapresiasi oleh stakeholder (pemangku kepentingan) pendidikan (dalam hal ini Dinas Pendidikan), termasuk para pemerhati dan praktisi pendidikan dan tidak sebaliknya ‘dihakimi’. Apalagi keputusan itu diambil ketika masyarakat kita (termasuk diantaranya pemangku kepentingan pendidikan itu sendiri) telah mereduksi pendidikan ke ranah pragmatis, cukup untuk ijazah, cukup untuk bisa bekerja, dan cukup-cukup lainnya.
            Catatan pertama yang perlu menjadi perhatian adalah  tujuan utama pendidikan adalah pembentukan kepribadian manusia seutuhnya dan bukan kelulusan. Kelulusan yang ditandai dengan penerimaan ijazah adalah ‘perwujudan’ kualitas anak didik sekaligus kepercayaan sekolah bahwa anak didik tersebut telah layak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi atau memasuki dunia kerja. Dengan kalimat yang lebih teknis-formal anak didik tersebut memenuhi Standar Kompetensi Lulusan Sekolah.
Dalam konteks SMAK Frateran Podor, tidak lulusnya 15 peserta didik ini tentu saja karena belum memenuhi Standar Kompetensi Lulusan SMAK Frateran Podor. Para praktisi pendidikan sadar betul bahwa keputusan itu tidak populer, tidak disukai masyarakat dan bisa membuat masyarakat meninggalkan sekolah itu. Keberanian Dewan Guru SMAK Frateran Podor untuk mengambil keputusan ini menunjukkan tanggung jawab moril mereka terhadap masa depan ke-15 anak didik tersebut dan komitmen mereka terhadap pendidikan di Negeri ini. Catatan untuk Bapak Felix Tan, keputusan itu tidak menunjukkan bahwa para guru belum memahami regulasi, namun menunjukkan Dewan Guru SMAK Frateran Podor sangat memahami esensi pendidikan karena itu tidak mau berlaku sekedar formal-legalistik seperti yang Bapak mintakan persetujuan kepada Bapak Evens Nuba dan Robertus Sabon Taka dalam tulisan Bapak di Pos Kupang 5 Juni 2015: UN Bukan Penentu Kelulusan alinea terakhir.
Kedua. Ketidaklulusan bukanlah ‘kiamat’ bagi ke-15 anak didik itu. Ini adalah bagian dari proses pembelajaran. Dalam konteks reward dan sanksi maka ini adalah sebuah sanksi. Dan sanksi ini sangat edukatif. Anak didik diberikan kesempatan untuk mengikuti proses pembelajaran satu tahun lagi di kelas XII.
            Terhadap ini sudah menjadi tugas semua stakeholder pendidikan seperti Dinas Pendidikan, praktisi pendidikan (diantaranya Bapak Felix Tan), mapun pemerhati pendidikan untuk memberikan pencerahan kepada anak didik yang belum lulus agar menerimanya dengan besar hati dan siap untuk kembali mengikuti proses pembelajaran. Miris, ketika para pemangku kepentingan bertindak sebaliknya. Atas nama regulasi negara mereka telah menjerumuskan anak didik, orang tua/wali murid bahkan masyarakat ke alam pragmatis dengan mental formal-legalistik tanpa mempedulikan kualitas.
Catatan penting sebagai permenungan bagi Bapak Felix Tan, sebagai Dosen di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP), Bapak memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam memproduksi tenaga pendidik yang baru. Apakah pendidik yang baru memiliki idealisme dalam pendidikan atau bermental pragmatis yang cukup dengan memenuhi unsur formal-legalistik. Bapak telah ikut berperan dalam membentuk mereka melalui dua tulisan Bapak di media ini.
Ketiga. Bapak Felix Tan telah meluangkan terlalu banyak waktu untuk mempersoalkan gejala yang muncul (fenomena) dan melupakan tugas utama Bapak sebagai akademisi, yakni mengurai substansi yang melahirkan fenomena itu. Keputusan Dewan Guru SMAK Frateran Podor untuk tidak meluluskan 15 (lima belas) peserta didiknya adalah fenomena. Zera yang hendak bunuh diri karena tidak lulus adalah fenomena. Pun Permendikbud No. 5 tahun 2015 tentang Kriteria Kelulusan adalah juga sebuah fenomena. Tugas Bapak Felix Tan dan para akademisi lainnya mengurai substansi yang menyebakan fenomena ini bukan mengomentari fenomena-fenomena ini.
Sebagai contoh pernyataan Bapak Felix Tan bahwa Zera memiliki karakter yang baik karena itu tidak membakar sekolahnya hanya mau menceburkan diri ke laut sebenarnya adalah sebuah fallacy atau kesesatan berpikir. Terhadap kejadian itu akademisi yang sungguh memiliki komitmen terhadap pendidikan akan trenyuh dan mempertanyakan: bagaimana kecerdasan emosi (EQ) anak itu, ada apa dengan kecerdasan ketahanan (AQ) anak itu, apakah sekolah memperhatikan kecerdasan spiritualnya (SQ)? Bagaimana seorang anak dikatakan memiliki kerakter yang baik jika ketiga kecerdasannya itu belum bekerja maksimal. Sebagai seorang praktisi pendidikan, saya sependapat dengan Dewan Guru SMAK Frateran Podor untuk mendidik anak-anak itu satu tahun lagi.
Masa depan bangsa ini ada di pundak para pendidik. Seperti apa bangsa ini 5 tahun ke depan, atau 10 tahun ke depan tergantung pada komitmen para pendidik. Generasi bangsa ini telah terkontaminasi paradigma pragmatis yang cenderung formal-legalistik. Saya yakin Bapak Felix Tan sepakat dengan saya bahwa kita harus membentuk generasi baru yang memiliki idealisme dan komit untuk meraih idealismenya. Robert Sabon Taka dan Evensus Nuba serta Dewan Guru SMAK Frateran Podor telah memberikan contoh. Mari kita teladani mereka demi masa depan Generasi Bangsa ini. ***




1 komentar: