23 Oktober, 2013

Larangan kata Allah di Malaysia adalah Penganiayaan Terhadap Gereja



Pengantar Admin: UCANEWS INDONESIA, Selasa 22 Okotber 2013, menurunkan sebuah artikel menarik perihal tanggapan Gereja Katolik terhadap Keputusan Pengadilan Tinggi Malaysia perihal larangan penggunaan kata Allah. Artikel ini menarik untuk disimak, bukan hanya karena keberanian Mgr. Tan Sri Murphy Pakiam untuk mengkritisi keputusan Pengadilan tetapi lebih dari itu sebagai sebuah pembelajaran bagi Negara-negara bangsa seperti Indonesia dalam membina kerukunan hidup antar umat beragama. 

Pemimpin Gereja Katolik Malaysia hari ini mengatakan bahwa keputusan Pengadilan Tinggi terkait larangan penggunaan kata Allah sama saja dengan menganiaya orang Kristen di Malaysia.
Uskup Agung Tan Sri Murphy Pakiam menyatakan bahwa tiga hakim keliru dalam membuat keputusan dengan melarang mingguan Katolik Herald menggunakan kata Allah.
Dia mengatakan orang Kristen di Malaysia telah menggunakan kata itu dengan damai selama berabad-abad dan “kami menolak keputusan hakim”.
“Sebagai Ketua Presidium Konferensi Waligereja Malaysia, saya ingin mengatakan bahwa tiga hakim keliru dalam temuan mereka bahwa kata Allah tidak esensial atau bukan  merupakan bagian integral dari agama Kristen”, kata uskup agung itu dalam sebuah pernyataan hari ini.
Dia mencontohkan bahwa kalimat pertama Doa Syahadat: Aku percaya akan Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi.
“Setiap orang Kristen yang salah mengucapkan doa ini, akan diekskomunikasi dan dianggap sesat,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa Allah adalah terjemahan Bahasa Malaysia dan sama dengan Allah dalam Bahasa  Arab.
Dia juga menjelaskan bahwa kata itu tidak esensial bagi iman Kristen adalah bentuk penolakan terhadap hak asasi komunitas Kristen untuk berbicara Bahasa Malaysia, yang menggunakan kata Allah dalam ibadah mereka, buku-buku doa, Alkitab dan publikasi lainnya.
Uskup Agung Pakiam mengatakan ada ribuan orang Kristen berbicara bahasa Malaysia dari Sabah hingga Sarawak yang berada di universitas-universitas, angkatan bersenjata, polisi dan di sektor sipil dan swasta di Semenanjung Malaysia.
Prelatus itu menambahkan bahwa setengah dari gereja dan kapel di Semenanjung Malaysia saat ini mengadakan minimal satu kali kebaktian atau memberikan pelajaran agama dalam Bahasa Malaysia setiap minggu.
“Sebagai komitmen pemimpin agama, kami harus memastikan bahwa kami hormat melayani mereka dalam bahasa nasional.”
“Karena alasan ini, kami tidak menerima keputusan hakim dan bersama para pemimpin Gereja lain yang juga telah menyuarakan keberatan mereka.”
“Kami bangga bahwa para pemimpin agama lain dan organisasi telah mendukung pernyataan serupa.”
Dia meminta Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak mengambil langkah untuk menghentikan indoktrinasi karena hal itu akan membuat warga Melayu baik individu maupun organisasi akan menuju radikalisme yang memecah belah.
Uskup Agung Pakiam juga mendesak semua orang Malaysia, banyak di antara mereka telah sangat diuntungkan dengan pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah misi.
“Kami terus berdoa agar Tuhan memberkati dan mencerahkan semua orang Malaysia untuk menerima satu sama lain dalam kesatuan dan keragaman,” kata uskup agung itu.
Pada Senin pekan lalu, tiga hakim Pengadilan Banding memutuskan bahwa Herald dilarang menggunakan kata Allah, menjungkirbalikkan keputusan Pengadilan Tinggi pada Desember 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar