1. PENGANTAR
Konsili Vatikan II dalam dokumen Lumen Gentium
menjelaskan bahwa Gereja terdiri dari Hirarki dan Awam. Hirarki adalah anggota
Gereja yang menerima imamat jabatan melalui sakramen tahbisan. Hirarki terdiri
dari Paus, Uskup, Imam dan Diakon. Sedangkan awam adalah anggota Gereja yang
tidak menerima imamat jabatan. Namun karena anugerah pembabtisan setiap umat
beriman (kaum awam) telah menerima imamat umum. Dengan demikian Hirarki dan
Awam sama-sama memiliki tugas sebagai Imam, Nabi dan Raja dalam ruang
lingkupnya masing-masing. Hirarki dan awam sama-sama sebagai anggota Gereja
namun terbedakan dalam tugas dan fungsi.
Dalam Liturgi pembedaan ini diperlihatkan melalui pakaian
liturgi. Pemimpin perayaan Ekaristi selalu mengenakan pakaian liturgi dengan
kelengkapan dan warna tertentu sesuai dengan kalender liturginya. Pedoman Umum
Misale Romawi: “Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak
semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas
yang berbeda- beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang
berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing
pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan
liturgis” (PUMR 335).
Tradisi Pakaian Litrugi merupakan warisan Perjanjian
Lama. Harun dan keluarga yang diangkat Tuhan untuk menjadi Imam-Nya, diperintahkan
untuk mengenakkan pakaian yang berbeda dengan umat Israel lainnya. Kepada Musa,
Yahweh berfirman: “Haruslah engkau membuat pakaian kudus untuk Harun,
saudaramu, sebagai perhiasan kemuliaan. Haruslah engkau mengatakan kepada semua
orang yang ahli, yang telah Kupenuhi dengan roh keahlian, membuat pakaian
Harun, untuk menguduskan dia, supaya dipegangnya jabatan imam bagi-Ku.” (Kel
28:2-3)
Berikut ini, kami sampaikan secara sederhana dan ringkas
tentang pakaian Liturgi, semoga bermanfaat.
2. JENIS PAKAIAN LITURGI
A. AMIK
Amik adalah kain putih segi empat dengan dua tali di dua
ujungnya atau ada juga model modern lain yang tidak segi empat dan tanpa tali.
Amik yang melingkari leher dan menutupi bahu dan pundak itu melambangkan
pelindung pembawa selamat (keutamaan harapan), yang membantu pemakainya untuk
mengatasi serangan setan. Kain itu secara praktis juga berfungsi untuk menutupi
kerah baju supaya tampak rapi, untuk menahan dingin, atau sekaligus untuk
menyerap keringat agar busana liturgis pada zaman dulu yang biasanya amat indah
dan mahal tidak mengalami kerusakan. Amik dikenakan oleh imam, diakon, atau
petugas lain yang hendak mengenakan alba. Pemakaian amik sering tergantung juga
pada alba yang akan dipakai. Kalau alba kiranya tidak menutup sama sekali kerah
pakaian sehari-hari, maka barulah amik itu dikenakan sebelum alba (PUMR 336).
B. ALBA
Pakaian putih (Latin: alba = putih)
panjang; simbol kesucian dan kemurnian yang seharus-nya menaungi jiwa diakon/
imam yang me-rayakan liturgi, khususnya Pe-rayaan Ekaristi. Alba dengan warna
putihnya itu sendiri secara simbolis mengingatkan kita akan komitmen baptis dan
kebangkitan. Sebenarnya alba juga boleh dipakai untuk pelayan altar lainnya,
bahkan—meski tidak lazim—untuk lektor dan pemazmur.
C. SINGLE
Tali pengikat alba pada pinggang ini merupakan simbol
nilai kemurnian hati (chastity) dan
pengekangan diri. Biasanya berwarna putih atau sesuai dengan warna masa
liturginya. Biasanya singel dipakai jika model alba membutuhkan-nya atau jika
dipakai stola dalam (PUMR 336). Ada beberapa busana liturgis khusus untuk
petugas yang ditahbiskan (klerus), yang tidak boleh dikenakan atau bahkan
ditiru untuk petugas liturgis awam. Unsur busana khusus itu adalah stola,
kasula, dalmatik, dan velum. Selain mengenakan beberapa unsur di atas
sebelumnya (amik, alba, singel), beberapa unsur berikut ini kemudian melengkapi
penampilan se- orang petugas yang ditah- biskan sesuai dengan kebu- tuhan
perayaannya.
D. JUBAH
Sudah amat lazim bahwa lektor—juga beberapa petugas
liturgis lainnya, seperti pemazmur dan pembagi komuni, bahkan kelompok paduan
suara—mengenakan jubah atau busana semacamnya. Tidak ada aturan khusus untuk
itu, juga tidak ada larangan untuk meneruskan kebiasaan itu. Namun perlu
ditegaskan bahwa hal itu bukanlah keharusan, sehingga tidak ada kewajiban untuk
mengadakannya. Justru, ketika awam atau petugas liturgis yang tidak ditahbiskan
berperan dalam perayaan liturgis, sebaiknya ia tampil dengan busananya sendiri.
Tentu saja busana yang layak dan sopan untuk ukuran publik. Lagipula,
seringkali memakai jubah bagi mereka malah bisa mengundang pemikiran lain (baik
secara asosiatif maupun estetis). Dengan kata lain, tidak semua orang cocok
memakai jubah. Jelasnya, jubah yang sebenarnya diperuntukkan bagi lelaki
tentunya jadi kelihatan aneh jika dikenakan perempuan
E. SUPERPLI
Superpli merupakan pengganti alba, potongannya tidak
sepanjang alba. Ber-warna putih. Superpli tidak sampai mata kaki, cukup sebatas
lutut dengan perge-langan tangan yang cukup lebar. Tidak boleh sembarangan
memakai superpli. Alba dapat diganti superpli, kecuali kalau dipakai kasula
atau dalmatik, atau kalau stola menggan-tikan kasula atau dalmatik (PUMR 336).
Dengan kata lain, jika memakai kasula dan dalmatik, imam dan diakon harus
memakai alba, bukan superpli. Jika hanya memakai stola, maka imam dan diakon
boleh memakai superpli di atas jubahnya.
F. STOLA
Stola adalah semacam selendang panjang; simbol bahwa
yang mengenakannya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut
tugas pengudusan (imamat). Stola melambang-kan otoritas atau ke- wenangan dalam
pelayanan sakra-mental dan berkhot-bah. Secara khusus, sesuai dengan doa ketika
mengenakan-nya, stola dimaknai sebagai simbol kekekalan. Warnanya sesuai dengan
warna masa liturgi pada saat perayaan dilangsungkan. Diakon memakainya
menyilang, dari pundak kiri ke pinggang kanan. Imam memakainya dengan cara
mengalungkannya di leher, dua ujung stola itu ke depan, dibiar-kan menggantung
(PUMR 340). Dulu (sebelum pembaruan liturgis 1970), cara ini hanya untuk uskup
atau abas, pejabat yang biasanya mengenakan kalung salib (pektoral) — kalung
salib semacam itu pun sebenarnya tidak perlu diperlihatkan di atas kasula,
dalmatik, atau pluviale, tapi boleh di atas mozzetta (lihat CE / Caeremoniale Episco-porum 61).
Sedangkan para imamnya dulu mengalungkan stola dan kemudian menyilangkannya di
depan. Sekali lagi, baik imam maupun uskup sekarang boleh mengenakan stola
dengan cara yang sama (CE 66).
G. KASULA
Kasula adalah busana khas untuk imam, khususnya selebran
dan konselebran utama, yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula
melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang
penuh pengorbanan diri bagi Tuhan. Warnanya sesuai dengan warna liturgi untuk
perayaannya. Model kasula mengalami beberapa perubahan dan variasi. Dari yang
panjang dan mewah banyak hiasannya, lalu yang tampak minimalis dengan lengannya
seperti terpotong, sampai yang sederhana polos. Hingga saat ini setidaknya ada dua macam model atau cara pemakaian
stolanya. Kasula dengan stola dalam berarti memakai stolanya di dalam, tertutup
kasula. Kasula dengan stola luar berarti stolanya di atas kasula.
H. DALMATIK Dalmatik dikenakan setelah
stola diakon. Ini adalah busana resmi diakon tatkala bertugas melayani dalam Misa/Perayaan
Ekaristi, khususnya yang bersifat agung/meriah. Busana ini melambang-kan sukacita dan kebaha-giaan yang merupakan
buah-buah dari pengab-diannya kepada Allah. Warna atau motif dalmatik
disesuaikan dengan kasula imam yang dilayaninya pada waktu Misa. Bentuk
dalmatik seolah mirip kasula, namun sebenarnya mempunyai pola berbeda.Biasanya
ada beberapa garis menghiasinya.
I.
VELUM
Velum adalah semacam kain putih/kuning/emas lebar yang
dipakai pada punggung ketika membawa Sakramen Mahakudus dalam prosesi (ingat
saat pemindahan Sakramen Mahakudus pada bagian akhir Misa Pengenangan Perjamuan
Tuhan, Kamis Putih malam!) dan memberi berkat dengan Sakramen Mahakudus. Memang unsur busana ini tidak dipakai
dalam Perayaan Ekaristi, namun sangat ber-kaitan dengan Sakramen Ekaristi,
yakni dalam adorasi atau penghormatan kepada Sakramen Mahakudus. Kain semacam
itu biasanya dihiasi. Ada juga yang tanpa hiasan, namun dipakai untuk mem-bawa
tongkat gembala dan mitra uskup, ketika seorang uskup memimpin Perayaan Ekaristi
meriah. Velum untuk tongkat dan mitra uskup itu biasanya berwarna putih saja.
J.
PLUVIALE
Ini semacam mantel panjang (Latin: pluvia = hujan) yang digunakan di
luar Perayaan Ekaristi dan dalam perarakan liturgis, atau perayaan liturgis
lain yang rubriknya menuntut digunakan busana itu (misalnya untuk liturgi
pemberkatan). Kita bisa melihatnya — meski sudah jarang — jika imam
mengenakannya dalam perarakan sebelum Misa Minggu Palma. Jenis busana ini
memang tidak langsung berkaitan dengan Misa, tapi sering digunakan sebelum Misa
itu sendiri.
3. WARNA-WARNA LITURGI
Warna-warna yang masih berlaku:
A. putih:
untuk Masa Paskah, Natal, perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan
sengsara-Nya), pesta Maria, para malaikat, orang kudus yang bukan martir, Hari
Raya Se-mua Orang Kudus (1 November), kelahiran St. Yohanes Pembaptis (24
Juni), Pesta Yohanes Pengarang Injil (27 Desember), Pesta St. Petrus Rasul (22
Februari), dan Pesta Bertobatnya St. Paulus Rasul (25 Januari). Warna putih
juga bisa dipakai untuk Misa Ritual (PUMR 347);
B. merah:
untuk Minggu Palma, Jumat Agung, Minggu Pentakosta, perayaan Sengsara Tuhan,
pesta para rasul dan pengarang Injil (kecuali Yohanes), perayaan para martir;
C. hijau:
untuk Masa Biasa sepanjang tahun;
D.
ungu: untuk Masa Adven dan Prapaskah, dan
Liturgi Arwah; [5] hitam:
untuk Misa Arwah, meskipun kini sudah jarang digunakan;
E.
jingga:
untuk hari Minggu Gaudete (Minggu
Adven III) dan Laetare (Minggu Prapaskah IV), jika
memang sudah biasa (PUMR 346)
Bisakah warna itu diganti?
Perubahan warna tertentu untuk perayaan khusus diizinkan
juga. Ini biasa terjadi dalam konteks kultural tertentu yang mungkin memiliki
konsep makna berbeda tentang warna. Namun, kewenangan untuk mengubah demi
penyerasian kultural itu ada pada pihak Konferensi Uskup, yang kemudian perlu
memberitahukannya kepada Takhta Apostolik (PUMR 346) sebelum memberlakukannya.
Bahan dan hiasannya
Biasanya busana liturgis itu terbuat dari kain, entah
bahannya dari apa. Bahan apa saja memang boleh digu-nakan asal selaras dengan
martabat perayaan liturgis dan cocok untuk keadaan pelayan liturgi yang
mengenakan-nya (PUMR 343). Untuk daerah tropis seperti di Indonesia. kiranya
ada bahan-bahan yang lebih cocok. Tidak semua busana liturgis buatan luar negeri
(Eropa atau Amerika, misalnya) nyaman dipakai untuk daerah-daerah di Indonesia.
Bahkan, busana liturgis buatan dalam negeri pun juga tidak semuanya nyaman bagi
orang kita. Maka, perlulah setiap daerah memertimbangkan sendiri jenis kain
atau bahan yang cocok untuk daerahnya, agar busana liturgis tidak menjadi
gangguan bagi yang memakainya. Itu dari sisi pemakainya (petugas liturgi).
Sekarang perlu juga kita pertimbangkan dari sisi yang
melihatnya, yaitu jemaat pada umumnya. Unsur keindahan dan keanggunannya sangat
penting dan perlu diperhatikan. Keindahan dan keanggunan busana liturgis bukan
ditentukan oleh banyak dan mewahnya hiasan, melainkan karena bahan dan bentuk
potongannya. Juga bukan karena murah atau mahal harganya. Namun, juga jangan
terlalu pelit untuk mengadakan busana yang membantu mencitrakan kekudusan ini.
Hiasan yang berupa gambar atau lambang hendaknya juga sesuai dengan liturgi,
khususnya Ekaristi (PUMR 344). Proporsi ornamen itu sebaiknya juga disesuaikan
dengan interior atau bentuk bangunan gerejanya. Misalnya, untuk interior atau
tata ruang gereja yang sudah meriah, mungkin tidak perlu lagi busana liturgi
yang meriah atau ramai. Atau juga, busana liturgis bermotif batik-Jawa (atau
motif tradisional lain) mungkin kurang sesuai jika dikenakan di dalam gereja
yang bergaya gotik-Eropa, tapi lebih cocok dalam gereja yang bergaya joglo ala
rumah Jawa (atau bergaya tradisional lainnya).
4.
Norma Pemakaian Pakaian Liturgi
Baik Imam Selebran maupun Imam Konselebran mengenakan
busana yang sama, kecuali jika sang Imam Selebran adalah seorang Uskup.
Biasanya uskup mengenakan tanda-tanda lain yang tidak dimiliki imam biasa.
Namun, pada beberapa tahap berbusana, sebenarnya ada norma tertentu yang
berlaku untuk setiap petugas liturgis, khususnya pemimpin liturgis. Singkatnya,
busana dasar- nya adalah alba (yang putih!), sebelumnya bisa memakai amik
(tertutup alba), dan sesudahnya bisa memakai singel. Jika diakon, sesudah itu
ia mengenakan stola, kemudian dalmatik. Jika imam, setelahnya me- makai stola,
lalu kasula; atau dapat juga langsung kasula, lalu stola luar.Seorang uskup
agung (metropolis) juga mengenakan palium, semacam kalung dari kain keras, ada
warna putih dan hitam, berikut beberapa simbol salib. Uskup biasa (sufragan)
tidak mempunyai palium. Salib dada (pektoral) seorang uskup sebenarnya tidak
dikeluarkan (CE 61), alias tidak tampak pada kasula, alias sebaiknya dicopot
atau disembunyikan saja di balik kasula. Salib pektoral seorang uskup merupakan
bagian dari pakaian (jubah) kesehariannya (termasuk di antaranya topi kecil [pelliolum, soli Deo] dan cincin).
Salib semacam itu bukan bagian dari perlambangan busana liturgis, berbeda
halnya dengan mitra dan tongkat gembala.
5.
Busana untuk awam jangan sama dengan klerus
Mungkin kita pernah melihat bahwa seorang bapak pembagi
komuni berbusana mirip seorang imam, dengan memakai “semacam stola”; atau mirip
seorang uskup, lengkap dengan jubah putih dan singel ungu (karena masa
Prapaskah atau Adven), beserta salib pektoralnya. Wow! Instruksi Redemptionis Sacramentum
mengingatkan bahwa “umat awam tidak pernah boleh bertindak atau berbusana
liturgis seperti seorang imam atau diakon, atau memakai busana yang mirip
dengan busana dimaksud” (RS 152). Maksud larangan itu adalah untuk menghindari
kerancuan simbolis, atau terutama untuk tidak mengaburkan apa yang menjadi
tugas khas masing-masing (RS 151).
6.
Maksud aneka warna busana liturgis
Maksud keanekaragaman warna busana liturgis itu adalah [1]
untuk secara lahiriah dan berhasil guna mengungkapkan ciri khas misteri iman yang
dirayakan; [2] dan dalam kerangka tahun liturgi, untuk mengungkapkan makna
tahap-tahap perkembangan dalam kehidupan kristen (PUMR 345).
Artikel ini sangat menarik, Pak. Mungkin banyak umat kita yang belum mengetahui ini. Semoga artikel ini dapat memberikan penjelasan yang cukup kepada umat kita.
BalasHapusAda lg.. Cassock dan maniple(gk dgunakan lg)
BalasHapussepertinya jubah adalah pakain harian para imam, calon imam, dan bruder. untuk pakaian lektor itu bukan jubah tetapi alba.
BalasHapusTerima kasih masukannya
HapusTrimakasih akhirnya saya dapat mengerjakan tugas
BalasHapusTrimakasih akhirnya saya dapat mengerjakan tugas
BalasHapusterima kasih telah membantu saya untuk mengenal pakaian liturgi.
BalasHapusSaya mau jadi pastor.
BalasHapusMinta doa nya kawan,semoga tercapai
Dimana
HapusSemoga cita-citanya terkabul Frater. Tuhan Yesus memberkati
HapusTerimakasih jadi mengenal busana gereja. Kalau baju yang dipakai misdinar apa namanya ya?
BalasHapusSangat bermanfaat, terima kasih.
BalasHapusTerus berkarya.
Berkah Dalem.
Amin. Terima kasih
HapusAmin terima kasih
BalasHapus