30 April, 2013

MENGENAL PAKAIAN LITURGI DALAM GEREJA KATOLIK



1.       PENGANTAR
Konsili Vatikan II dalam dokumen Lumen Gentium menjelaskan bahwa Gereja terdiri dari Hirarki dan Awam. Hirarki adalah anggota Gereja yang menerima imamat jabatan melalui sakramen tahbisan. Hirarki terdiri dari Paus, Uskup, Imam dan Diakon. Sedangkan awam adalah anggota Gereja yang tidak menerima imamat jabatan. Namun karena anugerah pembabtisan setiap umat beriman (kaum awam) telah menerima imamat umum. Dengan demikian Hirarki dan Awam sama-sama memiliki tugas sebagai Imam, Nabi dan Raja dalam ruang lingkupnya masing-masing. Hirarki dan awam sama-sama sebagai anggota Gereja namun terbedakan dalam tugas dan fungsi.
Dalam Liturgi pembedaan ini diperlihatkan melalui pakaian liturgi. Pemimpin perayaan Ekaristi selalu mengenakan pakaian liturgi dengan kelengkapan dan warna tertentu sesuai dengan kalender liturginya. Pedoman Umum Misale Romawi: “Gereja adalah  Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu  tidak semua anggota menjalankan tugas  yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda- beda itu dinyatakan lewat busana liturgis  yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (PUMR 335).

Tradisi Pakaian Litrugi merupakan warisan Perjanjian Lama. Harun dan keluarga yang diangkat Tuhan untuk menjadi Imam-Nya, diperintahkan untuk mengenakkan pakaian yang berbeda dengan umat Israel lainnya. Kepada Musa, Yahweh berfirman: “Haruslah engkau membuat pakaian kudus untuk Harun, saudaramu, sebagai perhiasan kemuliaan. Haruslah engkau mengatakan kepada semua orang yang ahli, yang telah Kupenuhi dengan roh keahlian, membuat pakaian Harun, untuk menguduskan dia, supaya dipegangnya jabatan imam bagi-Ku.” (Kel 28:2-3)
Berikut ini, kami sampaikan secara sederhana dan ringkas tentang pakaian Liturgi, semoga bermanfaat.
2.       JENIS PAKAIAN LITURGI  
A.      AMIK
Amik adalah kain putih segi empat dengan dua tali di dua ujungnya atau ada juga model modern lain yang tidak segi empat dan tanpa tali. Amik yang melingkari leher dan menutupi bahu dan pundak itu melambangkan pelindung pembawa selamat (keutamaan harapan), yang membantu pemakainya untuk mengatasi serangan setan. Kain itu secara praktis juga berfungsi untuk menutupi kerah baju supaya tampak rapi, untuk menahan dingin, atau sekaligus untuk menyerap keringat agar busana liturgis pada zaman dulu yang biasanya amat indah dan mahal tidak mengalami kerusakan. Amik dikenakan oleh imam, diakon, atau petugas lain yang hendak mengenakan alba. Pemakaian amik sering tergantung juga pada alba yang akan dipakai. Kalau alba kiranya tidak menutup sama sekali kerah pakaian sehari-hari, maka barulah amik itu dikenakan sebelum alba (PUMR 336).

B.      ALBA
Pakaian putih (Latin: alba = putih) panjang; simbol kesucian dan kemurnian yang seharus-nya menaungi jiwa diakon/ imam yang me-rayakan liturgi, khususnya Pe-rayaan Ekaristi. Alba dengan warna putihnya itu sendiri secara simbolis mengingatkan kita akan komitmen baptis dan kebangkitan. Sebenarnya alba juga boleh dipakai untuk pelayan altar lainnya, bahkan—meski tidak lazim—untuk lektor dan pemazmur.

C.      SINGLE
Tali pengikat alba pada pinggang ini merupakan simbol nilai kemurnian hati (chastity) dan pengekangan diri. Biasanya berwarna putih atau sesuai dengan warna masa liturginya. Biasanya singel dipakai jika model alba membutuhkan-nya atau jika dipakai stola dalam (PUMR 336). Ada beberapa busana liturgis khusus untuk petugas yang ditahbiskan (klerus), yang tidak boleh dikenakan atau bahkan ditiru untuk petugas liturgis awam. Unsur busana khusus itu adalah stola, kasula, dalmatik, dan velum. Selain mengenakan beberapa unsur di atas sebelumnya (amik, alba, singel), beberapa unsur berikut ini kemudian melengkapi penampilan se- orang petugas yang ditah- biskan sesuai dengan kebu- tuhan perayaannya.

D.      JUBAH
Sudah amat lazim bahwa lektor—juga beberapa petugas liturgis lainnya, seperti pemazmur dan pembagi komuni, bahkan kelompok paduan suara—mengenakan jubah atau busana semacamnya. Tidak ada aturan khusus untuk itu, juga tidak ada larangan untuk meneruskan kebiasaan itu. Namun perlu ditegaskan bahwa hal itu bukanlah keharusan, sehingga tidak ada kewajiban untuk mengadakannya. Justru, ketika awam atau petugas liturgis yang tidak ditahbiskan berperan dalam perayaan liturgis, sebaiknya ia tampil dengan busananya sendiri. Tentu saja busana yang layak dan sopan untuk ukuran publik. Lagipula, seringkali memakai jubah bagi mereka malah bisa mengundang pemikiran lain (baik secara asosiatif maupun estetis). Dengan kata lain, tidak semua orang cocok memakai jubah. Jelasnya, jubah yang sebenarnya diperuntukkan bagi lelaki tentunya jadi kelihatan aneh jika dikenakan perempuan


E.       SUPERPLI
Superpli merupakan pengganti alba, potongannya tidak sepanjang alba. Ber-warna putih. Superpli tidak sampai mata kaki, cukup sebatas lutut dengan perge-langan tangan yang cukup lebar. Tidak boleh sembarangan memakai superpli. Alba dapat diganti superpli, kecuali kalau dipakai kasula atau dalmatik, atau kalau stola menggan-tikan kasula atau dalmatik (PUMR 336). Dengan kata lain, jika memakai kasula dan dalmatik, imam dan diakon harus memakai alba, bukan superpli. Jika hanya memakai stola, maka imam dan diakon boleh memakai superpli di atas jubahnya.


F.       STOLA
Stola adalah semacam selendang panjang; simbol bahwa yang mengenakannya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut tugas pengudusan (imamat). Stola melambang-kan otoritas atau ke- wenangan dalam pelayanan sakra-mental dan berkhot-bah. Secara khusus, sesuai dengan doa ketika mengenakan-nya, stola dimaknai sebagai simbol kekekalan. Warnanya sesuai dengan warna masa liturgi pada saat perayaan dilangsungkan. Diakon memakainya menyilang, dari pundak kiri ke pinggang kanan. Imam memakainya dengan cara mengalungkannya di leher, dua ujung stola itu ke depan, dibiar-kan menggantung (PUMR 340). Dulu (sebelum pembaruan liturgis 1970), cara ini hanya untuk uskup atau abas, pejabat yang biasanya mengenakan kalung salib (pektoral) — kalung salib semacam itu pun sebenarnya tidak perlu diperlihatkan di atas kasula, dalmatik, atau pluviale, tapi boleh di atas mozzetta (lihat CE / Caeremoniale Episco-porum 61). Sedangkan para imamnya dulu mengalungkan stola dan kemudian menyilangkannya di depan. Sekali lagi, baik imam maupun uskup sekarang boleh mengenakan stola dengan cara yang sama (CE 66).


G.     KASULA
Kasula adalah busana khas untuk imam, khususnya selebran dan konselebran utama, yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan. Warnanya sesuai dengan warna liturgi untuk perayaannya. Model kasula mengalami beberapa perubahan dan variasi. Dari yang panjang dan mewah banyak hiasannya, lalu yang tampak minimalis dengan lengannya seperti terpotong, sampai yang sederhana polos. Hingga saat ini setidaknya ada dua macam model atau cara pemakaian stolanya. Kasula dengan stola dalam berarti memakai stolanya di dalam, tertutup kasula. Kasula dengan stola luar berarti stolanya di atas kasula.


H.     DALMATIK Dalmatik dikenakan setelah stola diakon. Ini adalah busana resmi diakon tatkala bertugas melayani dalam Misa/Perayaan Ekaristi, khususnya yang bersifat agung/meriah. Busana ini melambang-kan sukacita dan kebaha-giaan yang merupakan buah-buah dari pengab-diannya kepada Allah. Warna atau motif dalmatik disesuaikan dengan kasula imam yang dilayaninya pada waktu Misa. Bentuk dalmatik seolah mirip kasula, namun sebenarnya mempunyai pola berbeda.Biasanya ada beberapa garis menghiasinya.


I.        VELUM
Velum adalah semacam kain putih/kuning/emas lebar yang dipakai pada punggung ketika membawa Sakramen Mahakudus dalam prosesi (ingat saat pemindahan Sakramen Mahakudus pada bagian akhir Misa Pengenangan Perjamuan Tuhan, Kamis Putih malam!) dan memberi berkat dengan Sakramen Mahakudus. Memang unsur busana ini tidak dipakai dalam Perayaan Ekaristi, namun sangat ber-kaitan dengan Sakramen Ekaristi, yakni dalam adorasi atau penghormatan kepada Sakramen Mahakudus. Kain semacam itu biasanya dihiasi. Ada juga yang tanpa hiasan, namun dipakai untuk mem-bawa tongkat gembala dan mitra uskup, ketika seorang uskup memimpin Perayaan Ekaristi meriah. Velum untuk tongkat dan mitra uskup itu biasanya berwarna putih saja.

J.        PLUVIALE
Ini semacam mantel panjang (Latin: pluvia = hujan) yang digunakan di luar Perayaan Ekaristi dan dalam perarakan liturgis, atau perayaan liturgis lain yang rubriknya menuntut digunakan busana itu (misalnya untuk liturgi pemberkatan). Kita bisa melihatnya — meski sudah jarang — jika imam mengenakannya dalam perarakan sebelum Misa Minggu Palma. Jenis busana ini memang tidak langsung berkaitan dengan Misa, tapi sering digunakan sebelum Misa itu sendiri.

3.       WARNA-WARNA LITURGI
Warna-warna yang masih berlaku:
A.      putih: untuk Masa Paskah, Natal, perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya), pesta Maria, para malaikat, orang kudus yang bukan martir, Hari Raya Se-mua Orang Kudus (1 November), kelahiran St. Yohanes Pembaptis (24 Juni), Pesta Yohanes Pengarang Injil (27 Desember), Pesta St. Petrus Rasul (22 Februari), dan Pesta Bertobatnya St. Paulus Rasul (25 Januari). Warna putih juga bisa dipakai untuk Misa Ritual (PUMR 347);
B.      merah: untuk Minggu Palma, Jumat Agung, Minggu Pentakosta, perayaan Sengsara Tuhan, pesta para rasul dan pengarang Injil (kecuali Yohanes), perayaan para martir;
C.      hijau: untuk Masa Biasa sepanjang tahun;
D.      ungu: untuk Masa Adven dan Prapaskah, dan Liturgi Arwah; [5] hitam: untuk Misa Arwah, meskipun kini sudah jarang digunakan;
E.        jingga: untuk hari Minggu Gaudete (Minggu Adven III) dan Laetare (Minggu Prapaskah IV), jika memang sudah biasa (PUMR 346)

Bisakah warna itu diganti?
Perubahan warna tertentu untuk perayaan khusus diizinkan juga. Ini biasa terjadi dalam konteks kultural tertentu yang mungkin memiliki konsep makna berbeda tentang warna. Namun, kewenangan untuk mengubah demi penyerasian kultural itu ada pada pihak Konferensi Uskup, yang kemudian perlu memberitahukannya kepada Takhta Apostolik (PUMR 346) sebelum memberlakukannya.

Bahan dan hiasannya
Biasanya busana liturgis itu terbuat dari kain, entah bahannya dari apa. Bahan apa saja memang boleh digu-nakan asal selaras dengan martabat perayaan liturgis dan cocok untuk keadaan pelayan liturgi yang mengenakan-nya (PUMR 343). Untuk daerah tropis seperti di Indonesia. kiranya ada bahan-bahan yang lebih cocok. Tidak semua busana liturgis buatan luar negeri (Eropa atau Amerika, misalnya) nyaman dipakai untuk daerah-daerah di Indonesia. Bahkan, busana liturgis buatan dalam negeri pun juga tidak semuanya nyaman bagi orang kita. Maka, perlulah setiap daerah memertimbangkan sendiri jenis kain atau bahan yang cocok untuk daerahnya, agar busana liturgis tidak menjadi gangguan bagi yang memakainya. Itu dari sisi pemakainya (petugas liturgi).
Sekarang perlu juga kita pertimbangkan dari sisi yang melihatnya, yaitu jemaat pada umumnya. Unsur keindahan dan keanggunannya sangat penting dan perlu diperhatikan. Keindahan dan keanggunan busana liturgis bukan ditentukan oleh banyak dan mewahnya hiasan, melainkan karena bahan dan bentuk potongannya. Juga bukan karena murah atau mahal harganya. Namun, juga jangan terlalu pelit untuk mengadakan busana yang membantu mencitrakan kekudusan ini. Hiasan yang berupa gambar atau lambang hendaknya juga sesuai dengan liturgi, khususnya Ekaristi (PUMR 344). Proporsi ornamen itu sebaiknya juga disesuaikan dengan interior atau bentuk bangunan gerejanya. Misalnya, untuk interior atau tata ruang gereja yang sudah meriah, mungkin tidak perlu lagi busana liturgi yang meriah atau ramai. Atau juga, busana liturgis bermotif batik-Jawa (atau motif tradisional lain) mungkin kurang sesuai jika dikenakan di dalam gereja yang bergaya gotik-Eropa, tapi lebih cocok dalam gereja yang bergaya joglo ala rumah Jawa (atau bergaya tradisional lainnya).
4.       Norma Pemakaian Pakaian Liturgi
Baik Imam Selebran maupun Imam Konselebran mengenakan busana yang sama, kecuali jika sang Imam Selebran adalah seorang Uskup. Biasanya uskup mengenakan tanda-tanda lain yang tidak dimiliki imam biasa. Namun, pada beberapa tahap berbusana, sebenarnya ada norma tertentu yang berlaku untuk setiap petugas liturgis, khususnya pemimpin liturgis. Singkatnya, busana dasar- nya adalah alba (yang putih!), sebelumnya bisa memakai amik (tertutup alba), dan sesudahnya bisa memakai singel. Jika diakon, sesudah itu ia mengenakan stola, kemudian dalmatik. Jika imam, setelahnya me- makai stola, lalu kasula; atau dapat juga langsung kasula, lalu stola luar.Seorang uskup agung (metropolis) juga mengenakan palium, semacam kalung dari kain keras, ada warna putih dan hitam, berikut beberapa simbol salib. Uskup biasa (sufragan) tidak mempunyai palium. Salib dada (pektoral) seorang uskup sebenarnya tidak dikeluarkan (CE 61), alias tidak tampak pada kasula, alias sebaiknya dicopot atau disembunyikan saja di balik kasula. Salib pektoral seorang uskup merupakan bagian dari pakaian (jubah) kesehariannya (termasuk di antaranya topi kecil [pelliolum, soli Deo] dan cincin). Salib semacam itu bukan bagian dari perlambangan busana liturgis, berbeda halnya dengan mitra dan tongkat gembala.

5.       Busana untuk awam jangan sama dengan klerus
Mungkin kita pernah melihat bahwa seorang bapak pembagi komuni berbusana mirip seorang imam, dengan memakai “semacam stola”; atau mirip seorang uskup, lengkap dengan jubah putih dan singel ungu (karena masa Prapaskah atau Adven), beserta salib pektoralnya. Wow! Instruksi Redemptionis Sacramentum mengingatkan bahwa “umat awam tidak pernah boleh bertindak atau berbusana liturgis seperti seorang imam atau diakon, atau memakai busana yang mirip dengan busana dimaksud” (RS 152). Maksud larangan itu adalah untuk menghindari kerancuan simbolis, atau terutama untuk tidak mengaburkan apa yang menjadi tugas khas masing-masing (RS 151).

6.       Maksud aneka warna busana liturgis
Maksud keanekaragaman warna busana liturgis itu adalah [1] untuk secara lahiriah dan berhasil guna mengungkapkan ciri khas misteri iman yang dirayakan; [2] dan dalam kerangka tahun liturgi, untuk mengungkapkan makna tahap-tahap perkembangan dalam kehidupan kristen (PUMR 345).

14 komentar:

  1. Artikel ini sangat menarik, Pak. Mungkin banyak umat kita yang belum mengetahui ini. Semoga artikel ini dapat memberikan penjelasan yang cukup kepada umat kita.

    BalasHapus
  2. Ada lg.. Cassock dan maniple(gk dgunakan lg)

    BalasHapus
  3. sepertinya jubah adalah pakain harian para imam, calon imam, dan bruder. untuk pakaian lektor itu bukan jubah tetapi alba.

    BalasHapus
  4. Trimakasih akhirnya saya dapat mengerjakan tugas

    BalasHapus
  5. Trimakasih akhirnya saya dapat mengerjakan tugas

    BalasHapus
  6. terima kasih telah membantu saya untuk mengenal pakaian liturgi.

    BalasHapus
  7. Saya mau jadi pastor.
    Minta doa nya kawan,semoga tercapai

    BalasHapus
  8. Terimakasih jadi mengenal busana gereja. Kalau baju yang dipakai misdinar apa namanya ya?

    BalasHapus
  9. Sangat bermanfaat, terima kasih.
    Terus berkarya.
    Berkah Dalem.

    BalasHapus