05 Mei, 2014

PEMIMPIN: PELAYAN vs PENGUASA


(Sebuah Refleksi Atas Peristiwa Pemilihan Umum dan Paskah)

Bulan April tahun ini kita disuguhi begitu banyak peristiwa yang sangat kaya nilai yang selalu mengusik mata hati kita untuk melihat secara lebih tajam dan dalam. Setiap peristiwa membawa serta pertanyaan-pertanyaan ‘kegalauan’, entah itu keprihatinan, kekecewaan, maupun pertanyaan eksistensial seperti yang diungkapkan dengan sangat indah oleh Daud dalam Mazmur 8:6: “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Dua peristiwa besar yang menjadi dasar refleksi ini adalah persitwa Pemilihan Umum dan Paskah 2014. 
Kedua peristiwa ini dihubungkan oleh satu benang merah yang sama, yakni kepemimpinan. Menarik untuk direnungkan, kedua peristiwa itu berlangsung dalam satu bulan yang sama: APRIL. Setelah melewati hingar-bingar persiapan, 9 April 2014 warga Negara Indonesia berbondong-bondong ke TPS untuk memilih orang-orang yang akan menjadi ‘wakilnya’ di Parlemen. Demikian juga umat Katolik sejagat, setelah melewati masa pantang dan puasa selama 40 hari, 18 April 2014 merayakan sekaligus menyaksikan pemberian Diri Seorang ‘Pemimpin’ di Salib yang menggugat eksistensi kepemimpinan pragmatis, “kebodohankah? Ataukah kekuatan Allah?” (Bdk 1Kor 1:18).
Kendati kedua peristiwa ini dapat dihubungkan dengan benang merah yang sama, namun keduanya tidak bisa diletakan pada satu kutub yang sama. Keduanya berada pada polaritas berbeda bahkan berseberangan. Kontradiksi kedua perisitiwa ini sudah sejak persiapan hingga puncak ‘perayaannya’.
Pemilihan umum dimulai dengan rangkaian kampanye atau saya lebih suka menyebutnya propaganda untuk memilih sosok atau partai tertentu. Mulai dari pembentukan Tim Sukses (TS), penyebaran kartu nama, SMS, pemasangan spanduk-banner, iklan di media massa (cetak maupun elektronik), pembagian sembako dan pernak-pernik lainnya, hingga serangan fajar. Begitu besar biaya yang dikeluarkan. Begitu banyak waktu, tenaga dan pikiran yang ‘digadaikan’. Pertanyaan ketidakpahaman dari sebuah keluguanku: “Mengapa ‘dia’ begitu kuat berusaha meyakinkanku untuk menjadi wakilku? Bukankah aku yang harus menentukan kepada siapa memandatkan hak-hak politikku di Parlemen? Benarkah ‘dia’ ingin menjadi ‘wakilku? Lalu bagaimana dengan biaya? Ikhlaskah ‘dia’? Ataukah ada ‘udang dibalik batu’ yang harus pelajari lebih dalam? Entah itu prestise, kekuasaan, uang atau hal lainnya. Namun semua itu hanyalah pertanyaan ketidakpahaman kaum lugu yang awam dengan hitung-hitungan matematis-logis para politisi.
Sangat berseberangan dengan peristiwa Salib. Injil Lukas menggambarkan kehidupan Yesus sebagai sebuah perjalanan. Perjalanan dari Nasareth di Galilea ke Yerusalem di Yudea. Penampilan Yesus di muka umum dimulai dengan ‘proklamasi’ datangnya Tahun Rahmat Tuhan (Tahun Yobel) yang menjadi tanda pembebasan. Proklamasi ini bukanlah sebuah kampanye terselubung untuk menarik simpati orang-orang Nasareth. Karena hasilnya Yesus digiring keluar hendak dilempari batu. Yesus sangat memahami budaya dan Agama Yahudi, karena itu saya sangat yakin Yesus tahu betul resiko yang akan diambil ketika Ia memproklamasikan Tahun Yobel itu. Tetapi Yesus harus melakukan itu karena itulah misi ‘kepemimpinan-Nya’.
Perjalanan Yesus selanjutnya merupakan upaya perwujudan proklamasi pembebasan Nasareth. Menyembuhkan orang sakit(Luk 5:12-26, 6:6-11, 7:1-10, dll), memberikan harapan untuk kaum papa miskin (Luk 6:20-26), mengeritik (mereformasi) hukum yang tidak pro kemanusiaan (Luk 6:1-5), mengeritik sikap hidup legal-formalistik (Luk 6:27-49), mengeritik pemimpin/penguasa yang tidak berpihak kepada masyarakat (Luk 10:13-16, 11:37-54), membebaskan orang dari kuasa roh-roh jahat (Luk 8:26-39, 9:37-43), dan masih banyak lagi hingga membebaskan orang dari kuasa maut (Luk 7:11-17, 8:40-56).
Apa yang dilakukan Yesus ini bukan tanpa perlawanan. Kaum Farisi, Ahli-Ahli Taurat, Para Imam dan Penguasa yang merasa terusik dengan kehadiran Yesus selalu mencari cara untuk menyingkirkan Yesus. Keempat Injil menggambarkan dengan amat gamblang bagaimana ‘orang-orang itu’ selalu membuat intrik untuk bisa menjebak Yesus agar mereka bisa melenyapkan Dia secara ‘legal’.
Namun Yesus bergeming. Ia tetap mengarahkan pandangan-Nya ke Yerusalem (Luk 9:51). Yerusalem dalam konteks tugas perutusan Kristus adalah kulminasi karya mesianik, yakni: sengsara, wafat dan kebangkitan untuk membebaskan umat manusia dari dosa dan kematian. Karena itu, Yesus mengarahkan pandangan-Nya ke Yerusalem sama dengan mengatakan ‘menyongsong’ Salib. Penegasan yang harus disampaikan adalah tidak bisa membayangkan adanya kemuliaan kebangkitan tanpa Salib.
Paparan ini memperlihatkan kepada kita dengan sangat gamblang dua model pemimpin. Model pemimpin pertama dikenal (atau lebih tepat disebut memperkenalkan diri) lewat spanduk, banner, iklan dan berbagai jenis propaganda lainnya. Model ini diperlihatkan oleh para politisi ketika mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politis tertentu, baik itu legislatif maupun eksekutif. Model kedua seperti yang diperlihatkan oleh Yesus. Yesus dikenal tidak karena propaganda melainkan karya. Yesus disambut oleh begitu banyak orang ketika memasuki kota Yerusalem bukan karena sebuah upaya pengerahan massa, melainkan karena sebuah ketertarikan untuk melihat sosok pemimpin karismatis yang berjalan dari satu kota-kota yang lain untuk berbuat baik.
Model pemimpin pertama juga suka tebar pesona. Cari sensasi. Memanfaatkan momen untuk bisa menjadi pahlawan. Kadang agak munafik dan selalu menjaga citra.Yesus menampilkan sebuah model yang sangat berbeda. Lugas dan apa adanya. Berbuat baik, mengecam ketimpangan, menolak praktik keagamaan maupun hukum yang formal-legalistik, dan semuanya lainnya, dilakukan tanpa tendensi apa pun. Bukan untuk dinilai baik, bukan untuk tebar pesona apalagi kemunafikan untuk mendapatkan simpati.
Orientasi pemimpin model pertama adalah kedudukan (jabatan) sebagai eufemisme dari kekuasan. Karena itu pemimpin model pertama melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. Mulai dari pembohongan publik sampai kepada penyusunan  rencana strategis untuk melakukan ‘kecurangan’ dipersiapkan dan dilakukan. Contoh di depan mata adalah dugaan kecurangan perhitungan suara oleh KPU Propinsi Lampung yang bergaung hingga ke tingkat Nasional.
Berseberangan dengan itu, orientasi kepemimpinan Yesus adalah kebenaran dan keadilan untuk mencapai kebebasan sempurna. Kebebasan dari belenggu-belenggu kehidupan (ekonomi, pendidikan, sosial, budaya,dll) hingga kebebasan dari dosa dan maut. Untuk mencapai itu tidaklah mudah. Pemimpin harus total. Total berkarya hingga tatal memberi diri. Yesus sendiri mengorbankan diri-Nya (bukan mengorbankan orang lain) demi tugas perutusan-Nya itu. Yesus rela menderita, wafat di Salib demi proklamasi pembebasan Nasareth yang telah Ia kumandangkan. Dengan semua itu Yesus menunjukkan dengan sangat gamblang betapa pentingnya tujuan. Jika tujuan yang hendak dicapai mulia dan luhur maka proses untuk mencapainya pun akan mulia dan luhur.
Semua ulasan ini hendak menjawabi judul refleksi ini. Pemimpin, apakah pelayan atau penguasa? Idealnya pemimpin adalah seorang pelayan, seorang abdi negara, abdi masyarakat. Pemaknaan seperti ini hanya bisa ditemukan dalam diri pemimpin yang melihat “kepemimpinannya” sebagai sebuah panggilan, sebuah amanah. Lepas dari itu, maka kepemimpinan adalah karir, jabatan dan kekuasaan.
Bagi pemimpin yang memaknai tugas ‘kepemimpinan’ sebagai panggilan maka Salib bukanlah kebodohan. Salib sungguh merupakan kekuatan Allah. Pemberian Diri Yesus secara total sampai mati di kayu Salib tidak mungkin bisa terwujud tanpa ada kekuatan Allah. Bagi kita sekarang, Salib adalah monumen pengorbanan seorang pemimpin. Melihat dan mewartakan Salib akan menjadi energi positif bagi para pemimpin. Energi ini adalah kekuatan untuk menjadi pemimpin yang mau berkorban, melayani dan mengabdi bukan untuk menguasai. Matias Sira Leter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar