02 Agustus, 2014

JOKOWI DAN REVOLUSI MENTAL (1)

Dalam sambutannya di Rakornas Partai Nasdem, Selasa 27 Mei 2014 lalu, Calon Presiden Jokowi mengajak semua peserta Rakornas untuk “berani membangun nilai-nilai baru dan memulai tradisi-tradisi baru.” Kalimat sederhana ini, sangat kaya makna dan mengandaikan adanya komitmen yang kuat dan kesiapan untuk bekerja keras. Tanpa komitmen dan kerja keras maka pembangunan nilai dan tradisi baru hanyalah jargon politik yang tidak ada bedanya dengan iklan anti korupsi Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu.
Seruan Jokowi ini berhubungan dengan Visinya Restorasi Indonesia dan Revolusi Mental. Secara kasat mata Jokowi sudah melakukannya selama menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Blusukan ke mana-mana, memberikan sanksi kepada petugas birokrasi yang mempersulit pengurusan administrasi kependudukan, tidak menerima gaji, dan masih banyak lagi.

Nilai plus yang harus diberikan kepada Jokowi adalah melakukan sendiri terlebih dahulu sebelum mengajak lainnya melakukan. Paulus VI dalam ajaran sosial Evangelii Nuntiandi artikel 6 mengatakan masyarakat zaman ini lebih percaya dengan apa yang dilakukan daripada apa yang dikatakan. Tidak heran, gelombang dukungan kepada Jokowi begitu kuat bahkan sebelum PDI Perjuangan menetapkan Jokowi sebagai Calon Presiden.
Kendati demikian, tidak untuk bersikap pesimistis, melakukan revolusi mental sama dengan mengurai benang yang sudah sangat kusut. Mental bangsa ini terlanjur dicemari arus pragmatisme yang menggilas habis nilai-nilai budaya bangsa dan idealisme perjuangan yang seharusnya menjadi orientasi seluruh pembangunan.
Hemat saya, ada 5 komponen yang menjadi target utama revolusi. Secara hirarkis 5 komponen tersebut adalah: Aparatur negara, pendidikan, media elektronik (TV), masyarakat dan keluarga. Dalam pembahasan ini saya hanya memusatkan perhatian pada 3 komponen pertama. 2 komponen lain akan menjadi pembahasan saya dalam tulisan berikut.
Secara sengaja saya meletakan revolusi mental aparatur negara pada nomor urut pertama karena mendesak dan menjadi pijakan untuk melakukan revolusi lainnya. Revolusi dimulai dari sistem perekrutan, penempatan hingga penanaman nilai kerja itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, ‘jatah’ dan ‘uang’ masih menjadi faktor penentu utama seleksi penerimaan dan penempatan kerja. Naifnya tidak sedikit pendidik yang menempuh jalan ini. Tidak tanggung-tanggung, salah satu teman saya harus merogoh kocek sampai 100 juta rupiah untuk bisa diterima menjadi PNS (Guru) dan ditempatkan di kota.
Penanaman nilai kerja merupakan satu hal penting yang tidak bisa dianggap sepeleh. Sikap pragmatis yang melihat ‘kerja’ hanya sebagai sarana untuk mendapatkan ‘bayaran’ telah merusak mental banyak aparatur negara. Benediktus XVI dalam ajaran sosial Motu Proprio Data menyoroti sekularisasi kerja. Kerja direduksi sebagai aktivitas duniawi hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan duniawi. Benediktus XVI mengajak masyarakat dunia untuk memaknai kerja sebagai aplikasi iman. Kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan.
Komponen kedua yang harus direvolusi adalah pendidikan. Mungkin banyak yang tidak setuju mengapa revolusi pendidikan saya letakan pada nomor yang kedua. Satu hal yang patut menjadi dasar pemikiran adalah sistem pendidikan kita dikuasai oleh negara. Mulai dari regulasi sampai isi pembelajaran di sekolah itu sendiri. Karena itu pendidikan selalu bersentuhan dengan aparatur negara Departemen Pendidikan yang tentu saja tidak jauh berbeda dengan yang lain ‘doyan upeti.’ Jika mental aparaturnya tidak lebih dahulu direvolusi maka faktor ‘keteladanan’ seperti yang telah ditunjukan Jokowi dan dinyatakan secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 dengan Perubahannya Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19 ayat 2 tidak dapat berjalan.
Revolusi yang paling utama dalam pendidikan adalah orientasi pendidikan itu sendiri. Tidak bisa disangkal dunia pendidikan pun telah dikuasai paradigma pragmatis. Faktor ‘utility’ terutama kesiapan memasuki dunia kerja kadang menjadi kepedulian utama pengelola pendidikan selain tuntutan orang tua/wali murid. Lembaga pendidikan menjadi tidak ada bedanya dengan tempat kursus/pelatihan maupun tempat bimbingan belajar. Kriteria utama lembaga pedidikan unggul direduksi hingga lulus ujian nasional 100%, dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi tanpa tes, dan di cakap dalam bekerja.
Pelaku pendidikan telah meninggalkan hal hakiki dalam pendidikan yakni pembentukan kepribadian atau dalam bahasa Orde Baru disebut pembangunan manusia seutuhnya. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah merumuskan dengan sangat baik, bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban...” (Pasal 3). Namun tanpa ada revolusi paradigma pendidikan yang benar rumusan yang indah itu tetap menjadi rumusan tanpa makna.
Komponen ketiga yang patut direvolusi adalah media elektronik khususnya televisi. Piramida penyerapan informasi Dr. Vernon A. Magneson menunjukkan bahwa penyerapan informasi melalui audio-visual lebih besar dibanding dengan hanya melalui audio saja. Jika dengan Audio saja audiens hanya bisa menyerap sekitr 10 % informasi maka dengan audio-visual audiens bisa menyerap hingga 30 % informasi. Hal ini membuat kita bisa berpikir bahwa pengaruh dari ‘sinetron’ dan ‘infotaiment’ jauh lebih besar daripada ceramah Guru di kelas, Khotbah Imam di Masjid, Homili Pastor atau Pendeta di Gereja, maupun ceramah Pendeta Hindu dan Budha di Pura maupun Vihara.
Yang memprihatinkan kedua acara Televisi tersebut belum bisa dijadikan sarana pendidikan. Justru yang ditonjolkan adalah perilaku jahil, balas dendam, geng-geng sekolah, perlakuan kejam dan jahat terhadap orang lain, balas dendam, ngerumpi, membeberkan kehidupan pribadi orang ke publik secara vulgar hingga gosip dan fitnah.  Naifnya lagi acara-acara ini kebanyakan ditayangkan pada prime time, yang ditonton oleh banyak anak.
Kita tidak mengharapkan semua media televisi menjadi seperti Metro TV atau TV One. Setiap media TV sudah pasti memiliki kekhasan sebagai brand di masyarakat. Yang harus direvolusi adalah mindset pengelola. Apakah hanya untuk rating dan iklan atau ada nilai-nilai luhur lain yang hendak diperjuangkan. Betapa beratnya merevolusi mental bangsa ini jika sejak kecil kita sudah disuguhi dengan informasi-informasi negatif yang merusak mental.

Bagi Jokowi seorang diri, revolusi mental tidaklah sulit. Toh beliau telah membuktikannya di Solo dan Jakarta. Namun untuk mengajak semua komponen bangsa untuk melakukan revolusi mental adalah pekerjaan yang tidak mudah. Karena itu dukungan semua pihak terhadap gerakan ini menjadi ‘harga mati’ yang tidak bisa ditawar. PR ini juga menjadi ujian bagi Jokowi. Derasnya gelombang dukungan terhadap Jokowi salah satunya karena keteladanannya dalam merevolusi mental aparat di Solo dan Jakarta. Masyarakat Indonesia mengharapkan komitmen yang sama. Semoga kekecewaan masyarakat terhadap ‘iklan’ Anti Korupsi Demokrat tidak diperparah oleh ajakan pembangunan nilai dan tradisi baru Jokowi ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar